
UIN Banten Selenggarakan Webinar Studi Islam di Era Digital melalui Pendekatan Interdisipliner
Banten, 2 Desember 2025 – Program Studi Magister Studi Islam Interdisipliner (SII) Pascasarjana UIN Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Banten sukses menyelenggarakan webinar ilmiah bertajuk “Reimajinasi Studi Islam: Interdisipliner, Kontekstual, dan Inovatif di Era Digital” pada hari Selasa, 2 Desember 2025. Kegiatan ini diikuti oleh para dosen, peneliti, dan mahasiswa pascasarjana yang bertujuan untuk mendiskusikan arah perkembangan studi Islam di tengah perubahan sosial yang sangat cepat.
Webinar ini dibuka oleh Prof. Dr. Wasehudin, M.SI. (Direktur Pascasarjana UIN SMH Banten), serta narasumber utama Dr. Syamsul Kurniawan, M.S.I. (Wakil Direktur Pascasarjana IAIN Pontianak/Dewan Pendidikan Prov. Kalimantan Barat) dan Dr. Ade Fakih Kurniawan, M.Ud. (Ketua Program Magister Studi Islam Interdisipliner UIN SMH Banten).
Direktur Pascasarjana UIN SMH Banten, Prof. Dr. Wasehudin, M.SI., dalam sambutannya menyampaikan apresiasi dan secara resmi membuka acara. Beliau menekankan bahwa tema yang diusung merupakan sebuah proses untuk “memperbaharui berpikir, cara menghasilkan pengetahuan, dan cara menyebarkan ilmu di era digital”. Prof. Wasehudin sangat sepakat bahwa paradigma studi interdisipliner harus diterjemahkan menjadi implementasi nilai-nilai kesalehan sosial (khairunnas) dan berharap S2 SII menjadi lokomotif terbukanya wacana keislaman di Indonesia.
Dr. Ade Fakih Kurniawan, M.Ud., menjelaskan bahwa tema ini merefleksikan kebutuhan mendesak untuk membangun cara pandang yang lebih terbuka, inklusif, terintegrasi, dan inovatif. Ia menggarisbahawi objek material studi Islam yang terdiri dari teks (An-Nas) dan realitas (Al-Waqi’) serta menegaskan bahwa ketika realitas berubah, maka meniscayakan juga adanya penyesuaian cara pandang (objek formal), sehingga pendekatan interdisipliner menjadi sangat penting.
“Pendekatan interdisipliner itu mengajak kita untuk membuka ruang dialog antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu sosial, ilmu humaniora, bahkan ilmu alam dan teknologi. Pendekatan ini bukan bertujuan untuk mengaburkan identitas ilmuwan [Islam] tetapi justru memperkaya, membuat kita mampu melihat persoalan dengan lebih jernih, komprehensif, dan bernuansa,” ujar Dr. Ade Fakih, menekankan perlunya mengatasi tantangan epistemologis dan keterbatasan literasi dalam disiplin ilmu tunggal.
Adapun Narasumber, Dr. Syamsul Kurniawan, M.S.I., membedah tema webinar melalui paradigma interdisipliner dengan mengangkat topik “Keberagamaan sebagai Diskursus Penelitian”. Ia mengamati bahwa realitas sosial keberagamaan berubah sangat cepat, memicu ketegangan antara tradisi dan modernitas, seperti fenomena “Kiai YouTube” dan “ngaji tanpa sanad” akibat digitalisasi. Perubahan ini menciptakan pergeseran, bahkan dalam hal pemahaman mitos, di mana hantu kini tidak lagi ditakuti melainkan dijadikan konten.
Dr. Syamsul juga menegaskan bahwa keberagamaan adalah objek material yang terus bergerak dan tidak bisa dipahami sebatas doktrin. Oleh karena itu, pendekatan monodisipliner tidak cukup untuk menjawab gejala sosial yang kompleks, sehingga dibutuhkan paradigma interdisipliner yang menggabungkan teori, metode, dan pengetahuan dari dua atau lebih disiplin ilmu.
“Paradigma interdisipliner itu adalah paradigma yang berusaha untuk melampaui batas-batas disiplin yang monodisiplin. Prinsip utamanya adalah terjadinya integrasi pengetahuan dan kolaborasi, serta orientasi pada pemecahan masalah yang kompleks,” jelas Dr. Syamsul.
Dr. Syamsul memberikan contoh penerapan interdisipliner menggunakan kerangka teori tokoh seperti Karl Marx (agama sebagai superstruktur yang dipengaruhi ekonomi) , Émile Durkheim (agama sebagai perekat sosial) , Max Weber (motivasi tindakan dan iron cage) , Michel Foucault (agama sebagai teknologi kuasa/kedisiplinan tubuh) , dan Zygmunt Bauman (modernitas cair). Pendekatan ini mendorong peneliti untuk menggunakan metode campuran (mixed method) dan membuka ruang kolaborasi lintas disiplin.
Sebagai penutup, Dr. Syamsul menyimpulkan bahwa pemahaman keberagamaan yang komprehensif hanya mungkin dilakukan dengan paradigma interdisipliner. Ia menekankan peran peneliti keberagaman:
“Peneliti keberagaman itu perlu menjadi navigator perubahan karena ia adalah navigator perubahan, maka tugas kita adalah membaca zaman tanpa kehilangan akar dan memahami agama sebagai proses yang harus ditafsir ulang terus,” pungkasnya.
Dengan demikian, Webinar ini menjadi momentum penting bagi Program Studi Magister Studi Islam Interdisipliner (SII) Pascasarjana UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang berfokus pada pengembangan kajian keislaman dengan pendekatan multidisipliner, interdisipliner, dan transdisipliner. Program ini berkomitmen melahirkan akademisi dan peneliti yang mampu menafsirkan ulang problem keagamaan dan sosial agar lebih responsif, inklusif, transformatif, dan solutif. (MHD)